Pengamat Politik, Pemerintah Aceh Tidak Pro Rakyat, Silpa 3.9 Triliun

Pengamat Politik, Pemerintah Aceh Tidak Pro Rakyat, Silpa 3.9 Triliun
Kepala Penelitian Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), Dr. Taufiq A Rahim (Doc: Istimewa/News Analisa)  
Penulis
|
Editor

Banda Aceh, News Analisa – Pengamat Politik Aceh Dr. Taufik A Rahim menilai Kondisi Pemerintahan Aceh sangat mengkhawatirkan, bahkan dalam penggunaan kebijakan politik anggaran belanja publik, ternyata memprihatinkan serta tidak membanggakan sama sekali, Jum’at (28/05/2021).

Taufik kepada media News Analisa menjelaskan, ditengah kondisi ekonomi rakyat yang terpuruk, susah dan tidak tumbuh secara signifikan, bahkan diperkirakan minus, ternyata Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran (Silpa) dari pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2020 pada angka nominal yang sangat fantastis, yaitu Rp 3.969.617.354.787,29 atau sekitar Rp 3,9 triliun lebih.

“Hal ini nenunjukkan bahwa, selama ini dari besaran anggaran Rp 17 triliun lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai/birokrasi serta program dan proyek yang menguntungkan secara ekonomi politik, juga kepentingan elite Aceh.

Angka nominal Silpa Rp 3,9 triliun lebih sangat besar, dapat dipastikan ini program serta proyek yang tidak menguntungkan secara ekonomi dan politik, juga tidak memberikan dampak balik “fee project”, sehingga ini diabaikan untuk dilaksanakan maka berdampak Silpa yang besar,”

Baca Juga:  BUMN-Korsel Komitmen Perkuat Ekosistem Industri Baja dan Kendaraan Listrik Indonesia

Hal ini nenunjukkan Pemerintah Aceh (eksekutif dan birokrasi) tidak pro rakyat, untuk anggaran belanja pegawai/birokrasi biasanya saat sudah disetujui menjadi Daftar Isian Penggunaan/Pembiayaan Anggaran (DIPA), maka dengan gerak cepat dana itu diambil/ditarik. Maka itu, jika ada peningkatan jumlah Silpa dibandingjan APBA 2019 yaitu Rp 2.846.141.906.063,39 (atau Rp 2,8 triliun lebih).

“Dampak dari Silpa mencapai 3.6 triliyun menunjukkan kenaikan APBA tidak signifikan meningkatkan kenaikan perubahan kehidupan rakyat dan kesejahteraan rakyat yang lebih baik/tinggi, namun semakin memperbesar Silpa,”

Demikian juga jika dikaitkan dengan alasan ataupun alibi Pandemi Covid-19, ternyata nilai nominalĀ  anggaran refokusing Covid-19 tahun 2020 ini yang mengalami 4 kali Peraturan Gubernur (Pergub) Rp 2,3 triliun, yang tidak terpakai atau mengendap di dalam kas Pemerintah Aceh sebesar Rp 1,5 triliun.

Penggunaan dana refokusing Covid-19 oleh pemerintah Aceh untuk banyak proyek pencitraan, pemasangan baliho, spanduk, billboard serta iklan media cetak, elektronik dan lainnya serta program tidak menyelesaikan usaha menangani serta mengatasi Covid-19 di Aceh, termasuk memajang pembelian mobil mewah (4 buah) di Posko Covid terhadap pengadaan Ambulan yang tidak terpakai, yang bergerak mobil ambulan biasa, yang mobil mewah “duduk manis”, “wiper kaca depan mobil diangkat, tanda tidak terpakai dan berjemur (modus)”.

Baca Juga:  Kasus Positif Covid di Aceh Bertambah 86 Orang

Demikian juga anggaran refokusing Covid-19 yang tidak tepat sasaran dan tidak dinikmati rakyat Aceh, kecuali orang, kelompok, elite Aceh dan partai politik tertentu, serta kelompok organisasi tertentu.

“Sehingga secara keseluruhan anggaran belanja publik APBA 2020 juga mengalami Silpa Rp 3,9 triliun lebih, ini sebagai angka yang cukup fantastis. Ini menandakan bahwa tidak dapat digunakan anggaran semakin besar, rakyat Aceh tidak merasakan manfaat anggaran belanja publik dan politik, sepertinya rakyat Aceh tidak ada pemerintah,”

Baca Juga:  PT Pertamina Hulu Rokan Berhasil Garap 350 Sumur Minyak Baru

Selain itu lemahnya salah satu fungsi pengawasan/kontrol legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/DPRA) terhadap anggaran belanja Aceh yaitu APBA, maka lengkaplah penderitaan rakyat Aceh terhadap politik kebijakan anggaran yang tidak pro-rakyat, kecuali APBA untuk kepentingan politik oligarki elite politik Aceh, baik eksekutif maupun legislatif.

Rakyat Aceh mesti sadar, bahwa semakin besar serta meningkatnya Silpa APBA termasuk 2020, ini menunjukkan bahwa, kinerja Pemerintahan Aceh yang gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh yang sedang susah, terpuruk, pertumbuhan ekonomi tidak bangkit, peredaran uang juga tidak adil serta merata, daya beli masyarakat rendah.

Perubahan kehidupan hanya usaha masyarakat untuk “survival” mepertahankan hidup, jadi kebijakan Pemerintah Aceh tidak tepat sasaran. Jadi bukan adanya dorongan dan stimulus ekonomi dari Pemerintah Aceh. Ini tidak boleh dibiarkan terus menerus, sehingga menjadikan penerintah semakin “angkuh/sombong” dimata rakyat, rakyat mesti bijak menentukan sikap terhadap Pemerintah Aceh yang tidak pro-rakyat.(*)


 

Bagikan:

Tinggalkan Komentar

Live Streming