Jika Dipaksa Cuti 3 Bulan, Gubernur Aceh Lebih Baik Diganti

Jika Dipaksa Cuti 3 Bulan, Gubernur Aceh Lebih Baik Diganti
Dr. Taufik A Rahim, Pengamat Ekonomi dan Politik Aceh.  
Penulis
|
Editor

Banda Aceh, News Analisa – Semakin santer usaha agar Gubernur Aceh untuk istirahat atau cuti 3 bulan, karena terpapar Covid-19, Orang Tanpa Gejala (OTG), membuat publik aceh semakin bingung dengan kondisi kesehatan orang nomor 1 di Aceh. Sebelum Gubernur Nova telah dua kali perpanjangan masa istirahat (isolasi mandiri) 2 kali istirahat 14 hari, sehingga menjadi 28 hari. Ternyata hasil test swab kemarin Senin 21 Juni 2021 juga belum keluar hasil.

Hal ini menunjukkan bahwa, ada masalah serius pada kondisi kesehatan yang dialami Gubernur Aceh (Nova Iriansyah), baik secara fisik maupun psikologis, ujar Pengamat Politik Aceh, Dr, Taufik A Rahim kepada Media News Analisa, pada Rabu, (23/06/2021).

Persoalan ini jelas-jalas permasalahan serius, disaat banyak pihak, rakyat Aceh, Pemerintahan Aceh memerlukan kehadiran Gubernur Aceh ditengah masyarakat, tugas birokrasi atau Aparatur Sipil Negara (ASN) ataupun Pemerintah Aceh ditengah gonjang-ganjing isu kehadiran serta pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap banyak (17 orang) pejabat penting di Aceh yang terindikasi adanya penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2019-2020 berselemak banyak masalah, rasuah atau korupsi.

“Seperti, Kapal Aceh Hebat (1,2 dan 3), proyek tahun jamak (Multi Years Contract/MYC) 2019-2020, dana refocusing Covid-19, banyak lagi lainnya, termasuk yang terakhir adanya istilah “apendix” (dalam dunia kesehatan digunakan terhadap sakit usus buntu),”

Baca Juga:  Tindaklanjuti Instruksi Mendagri, Gubernur Kembali Perpanjang PPKM Mikro di Aceh

Semestinya Gubernur Aceh harus hadir, sebagai Penanggung Jawab politik dan kebijakan politik serta kebijakan politik-anggaran, juga sebagai penguasa pengguna anggaran (PPA) tertinggi di Aceh.

Karena semua menyangkut anggaran belanja publik, dana APBA, termasuk adanya dana otonomi khusus (Otsus), sehingga posisi Gubernur yang “gentlement”, harus diperlihatkan kepada publik dan seluruh rakyat Aceh. Ini jabatan politik yang harus dipertanggung jawabkan oleh Gubernur Aceh, jangan “cengeng” menghadapi kenyataan.

Jika ada upaya rekayasa bahwa, Gubernur Aceh dengan alasan kesehatan lebih penting terhadap orang nomor satu di Aceh ini, karena ini jabatan politik, jadwal kerja berhubungan dengan kebijakan politik, strategis dan menyangkut hajat hidup 5,38 juta rakyat Aceh, maka tidak boleh ditunda-tunda serta dikendalikan samar-samar dari belakang layar, oleh Guberbur Aceh “yang sakit”,

“Sangat tidak efektif, strategis dan cenderung salah kebijakan yang akan diambil, untuk kepentingan rakyat Aceh, dengan pengelolaan dana APBA yang besar dan luar biasa tersebut,”

Karena jabatan politik, maka jika tidak mampu bekerja disebabkan sakit, maka Pemerintah Pusat c/q Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) segera menunjukkan Pejabat Sementara (PJS), karena ini menyangkut hal yang sangat krusial terhadap urusan kebijakan, pengurusan dan pengelolaan Pemerintah Aceh, jadi bukan untuk main-main, rekayasa politik, dan atau sekedar mempertahankan jabatan dan kepentingan kekuasaan politik individu, kelompok dan partai tertentu.

Baca Juga:  Gubernur Hadiri Apel Kehormatan dan Renungan Suci

Demikian juga, KPK juga jangan tinggal diam dan mengulur waktu, jika ada indikasi dan diperlukan pemeriksaan terhadap Gubernur Aceh, siapkan tim dokter/kesehatan yang berkompeten mendampinginya dari Jakarta (jika sewaktu-waktu bermasalah pada saat pemeriksaan) dan independen, agar persoalan korupsi di Aceh segera tuntas, keadilan dan hukum mesti ditegakkan dalam rangka memberantas korupsi di Aceh yang semakin liar, luar biasa dan masif.

Tentunya KPK juga menggunakan cara-cara, aturan, ketentuan serta kaidah hukum yang juga luar biasa untuk menyelesaikan kasus korupsi di Aceh, agar isu korupsi di Aceh tidak semakin liar, merugikan rakyat, mengorbankan harkat, martabat serta hajat hidup rakyat Aceh, apalagi dana Otsus tersebut juga berhubungan langsung dengan nyawa, darah, keringat serta kehidupan rakyat Aceh pada konflik RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berakhir dengan perjanjian damai MoU Helsinki 15 Agustus 2005.

Baca Juga:  Gubernur Nova Lepas Pengiriman Vaksin ke 21 Kabupaten/Kota

Taufik menambahkan, persoalan politik untuk kepentingan rakyat Aceh sangat serius akhir-akhir ini, maka ketegasan dan penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Aceh harus jelas, tidak liar dan menimbulkan fitnah baru.

“Maka KPK harus tegas dalam supremasi hukum jangan dipernainkan, dan Pemerintah Pusat c/q Kemendagri RI juga tidak diam, jika benar-benar harus cuti 3 bulan tanpa,”

Persoalan politik untuk kepentingan rakyat Aceh sangat serius akhir-akhir ini, maka ketegasan dan penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Aceh harus jelas, tidak liar dan menimbulkan fitnah baru.

KPK harus tegas dalam supremasi hukum jangan dipernainkan, dan Pemerintah Pusat c/q Kemendagri RI juga tidak diam, jika benar-benar harus cuti 3 bulan tanpa tanggungan negara, maka segera ditunjuk (PJS) Gubernur Aceh untuk menunjang kinerja pemerintahan.

Dan akhirnya kepercayaan rakyat Aceh kepada KPK dan Pemerintah Pusat-Jakarta naik, ditengah krisis kepercayaan rakyat Aceh secara umum dan keseluruhannya terpuruk saat ini, ditambah lagi kasus Pandemi Covid-19 yang nasih tidak jelas berakhir, korbannya juga semakin bertambah sesuai laporan Tim Satgas Covid-19 Aceh. Demikian tegas Pengamat Politik Aceh Dr, Taufik A Rahim.(*)

Bagikan:

Tinggalkan Komentar

Live Streming