Asuransi Pertanian untuk Perlindungan Petani

Asuransi Pertanian untuk Perlindungan Petani
  Dukumen Foto News Analisa (Dr. Rahmat Fadhil, M.Sc)
Penulis
|
Editor

Usaha pada sektor pertanian selalu saja menghadapi risiko ketidakpastian (uncertainty) yang sangat tinggi. Sebut saja misalnya kegagalan panen baik karena serangan hama dan penyakit atau organisme pengganggu tanaman (OPT), perubahan kondisi lingkungan seperti perubahan iklim, kekeringan, banjir dan lain sebagainya. Membiarkan petani sendiri menghadapi risiko ini jelas akan sangat tidak menguntungkan bagi ketahanan dan kemandirian pangan bagi suatu wilayah. Bahkan bisa-bisa wilayah yang sering menghadapi risiko ini akan terus menerus mengalami kerawanan pangan yang tidak berkesudahan.

Untuk itulah Kementerian Pertanian Republik Indonesia menggulirkan program asuransi pertanian sejak tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian. Peraturan Menteri Pertanian ini sesungguhnya merupakan bentuk penjelasan teknis dan operasional dari perintah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dimana pada Pasal 37 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani dalam bentuk asuransi pertanian”.

Fungsi dan Manfaat Asuransi Pertanian

Sebagai sebuah produk  untuk memberikan dukungan bagi usaha tani yang berkelanjutan dan sekaligus sebagai salah satu alternatif skema pendanaan yang berkaitan dengan mengalihkan atau membagi risiko (transfer or distribution of risk) dalam kegiatan usaha tani. Asuransi pertanian memiliki beberapa manfaat bagi petani antara lain; Pertama, memberikan kesadaran untuk petani akan risiko gagal panen atau gagal usaha peternakan; Kedua, mendorong petani untuk meningkatkan keterampilan dan memperbaiki manajemen usaha pertanian/peternakan;Ketiga, mengurangi ketergantungan petani dari pemodal pihak lain yang terkadang malah menyusahkan dan membantu petani untuk dapat menyediakan biaya produksi atau modal usaha peternakan setelah mengalami musibah; serta Keempat, meningkatkan pendapatan petani dari keberhasilan usaha pertanian dan peternakan secara berkesinambungan.

Baca Juga:  Pakar Pertanian Unsyiah dan Lembaga Riset Bahas Pengembangan Asuransi Pertanian

Adapun fungsi asuransi pertanian ini adalah untuk menstabilkan tingkat pendapatan petani melalui pengurangan tingkat kerugian yang dialami petani karena kehilangan hasil, untuk merangsang petani mengadopsi teknologi usaha tani yang dapat meningkatkan produksi dan efisiensi penggunaan sumberdaya, dan              untuk mengurangi risiko yang dihadapi lembaga perkreditan pertanian dan memperbaiki akses petani terhadap lembaga perkreditan.

Pelaksanaan Asuransi Pertanian

Untuk AUTP, tertanggung asuransi pertanian adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani, baik pemilik lahan, penyewa atau penggarap dengan objek pertanggungan adalah lahan sawah yang dikelolanya. Kementerian BUMN atas permintaan Kementerian Pertanian telah menunjuk PT Asuransi Jasa Indonesia (JASINDO) sebagai BUMN yang menjadi penanggung dalam skema asuransi pertanian ini di seluruh Indonesia. AUTP menawarkan ganti rugi sebesar Rp 6 juta/ha dengan masa pertanggungan sampai dengan masa panen (4 bulan) dengan Premi Rp 180 ribu/ha. Pemerintah memberikan subsidi pembayaran premi sebesar Rp 144 ribu dan petani hanya menanggung Rp 36 ribu saja.

Begitu juga untuk AUTS/K tertanggung asuransi adalah peternak yang tergabung dalam kelompok ternak pada satu kawasan/daerah. Penjaminan hewan ternak pada AUTS/K dengan premi Rp 200 ribu/ekor/tahun. Dimana sebesar Rp 160 ribu ditanggung pemerintah dan sisa Rp 40 ribu dari swadaya petani. Adapun ganti rugi yang dibayarkan adalah sebesar Rp 10 juta per ekor jika mati dan Rp 7 juta per ekor jika hilang. Sejauh ini skema yang ditawarkan sangat menguntungkan petani, namun bagaimana realisasinya?

Realisasi AUTP dan AUTS/K

Target AUTP pada tahun 2015 adalah seluas 1 juta ha dan terealisasi sebesar 233.500 ha dengan klaim 3.482 ha. Berdasarkan target realisasi yang tidak begitu signifikan ini, maka pada tahun 2016 target AUTP diturunkan menjadi adalah 500.000 ha dengan realisasi 307.217 ha, dan klaim mencapai 11.107 ha. Pada tahun 2017 target ditingkatkan kembali menjadi 1 juta ha, seiring dengan perbaikan berbagai strategi dan inovasi, sehingga terealisasi 997.961 ha dengan klaim 25.028 ha. Untuk tahun 2018 yang lalu, target juga masih dipertahankan yaitu sebesar 1 juta ha dan terealisasi 806.200 ha dengan klaim sebesar 10.754 ha.

Baca Juga:  Ekonomi Islam di Tengah Wabah Virus Corona

Untuk AUTS/K sejak dimulainya program tersebut pada tahun 2016 ditargetkan menjangkau 120 ribu ekor ternak, namun yang terealisasi hanya 20 ribu ekor dengan klaim sebanyak 697 ekor. Pada tahun 2017 target masih sama yaitu 120 ribu ekor dan realisasi telah lebih meningkat mencapai 92.176 ekor, dengan klaim 3.470 ekor. Untuk tahun 2018 yang lalu, masih dengan target yang sama 120 ribu ekor, berhasil terealisasi 88.673 ekor dengan klaim mencapai 1.736 ekor.

Bagaimana realisasi pada tahun 2019 ini, Kementerian Pertanian menargetkan untuk AUTP sebesar 1 juta ha, dan hingga bulan Mei 2019 yang lalu persentase realisasi mencapai 7,67 persen atau 76.702 ha. Adapun realisasi bantuan premi setara subsidi 80 persen mencapai Rp 2.820.761.280 atau 19.588,62 ha. Untuk AUTS/K sendiri pada tahun 2019 ini dengan target 120 ribu ekor, sudah terealisasi sebanyak 7.553 ekor dengan bantuan setara subsidi 80 persen dari premi tercatat telah mencapai Rp 1.118.480.000. Begitulah laporan terkini yang disampaikan oleh Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian.

Asuransi Pertanian di Aceh

Selanjutnya, pertanyaan yang penting untuk kita kemukakan adalah bagaimana pelaksanaan asuransi pertanian di Aceh. Tahun 2019 di Provinsi Aceh mendapat alokasi program AUTP sebesar 2.000 ha, namun sampai akhir Desember 2019 hanya berhasil mencapai realisasi sebesar 802,53 ha saja yang tersebar pada 5 kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang, Bireun dan Aceh Barat Daya.

Baca Juga:  Kostratani, Babak Baru Pembangunan Pertanian

Lalu apa masalahnya?. Berdasarkan evaluasi sejauh ini ada dua hal utama yang menyebabkan realisasi program asuransi pertanian ini belum begitu optimal. Pertama, sosialisasi lapangan dirasakan masih belum begitu masif, terutama untuk memahamkan kepada para petani tentang manfaat, tata cara dan keuntungan program asuransi pertanian ini. Walaupun sesungguhnya Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh dengan koordinasi dinas terkait di tingkat kabupaten/kota telah memprogramkan sejumlah agenda untuk sosialisasi asuransi pertanian ini sepanjang tahun. Termasuk menyediakan alokasi anggaraan khusus program sosialisasi asuransi pertanian tersendiri.

Namun pelibatan pihak-pihak diluar institusi pemerintah sepertinya perlu diprogramkan secara terpadu dan berkesinambungan. Kedua, soal halal-haramnya sistem asuransi pertanian yang dikembangkan saat ini. Masyarakat Aceh yang religius dan sensitif dengan praktek halal-haram menyebabkan program asuransi pertanian ini menjadi pertanyaan tersendiri.

Apalagi sejak Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) diberlakukan di Aceh, maka konsekuensinya adalah 3 tahun setelah disahkannya qanun tersebut, seluruh lembaga jasa keuangan yang beroperasi di Aceh mestilah menganut prinsip syariah. Inilah salah satu pekerjaan penting yang mesti sesegera mungkin di persiapkan.  Termasuk perlunya merumuskan program Asuransi Pertanian Syariah. Semoga.

Oleh Dr. Rahmat Fadhil, M.Sc

Dosen Universitas Syiah Kuala dan Peneliti Asuransi Pertanian Syariah

E-Mail: rahmat.fadhil@unsyiah.net

Bagikan:

Tinggalkan Komentar