Internasional, News Analisa – Warga Lebanon sedang sengsara menghadapi krisis ekonomi yang melanda negaranya. Hiperinflasi dan kelangkaan berbagai kebutuhan pokok membuat situasi di negara tersebut bagaikan neraka bagi warganya.
Kelangkaan bahan bakar seperti bensin membuat SPBU di Lebanon dipenuhi antrean hingga ratusan kendaraan setiap hari. Hal itu dirasakan oleh salah seorang warga Lebanon, Ibrahim Arab, yang mengantre berjam-jam untuk membeli bahan bakar bagi taksinya.
Saat tidak bekerja, Ibrahim mendatangi satu per satu apotek di Beirut untuk mencari susu formula bagi anaknya yang berusia 7 bulan. Dia terpaksa memberikan susu formula apapun hingga bayinya mengalami diare dan muntah karena tidak biasa meminumnya.
“Hidup saya sudah sulit, dan sekarang krisis bensin hanya memperburuknya,” tuturnya seperti dikutip dari CNN, Jumat (9/7/2021).
Untuk bertahan hidup, Ibrahim memiliki pekerjaan kedua di sebuah toko kelontong di Beirut, namun pendapatannya tidak bernilai seperti sebelumnya dengan adanya penurunan nilai mata uang Lebanon.
Direktur Jenderal Rumah Sakit Universitas Rafik Hariri Lebanon, Firas Abiad, bahkan mengatakan kondisi Lebanon seperti di Neraka. Kondisi krisis ekonomi yang menerjang diperburuk dengan hadirnya pandemi COVID-19.
“Kita sungguh-sungguh berada di neraka,” ujar Firas Abiad.
Beberapa pekan terakhir, situasi memburuk dengan terjadinya perkelahian dan bahkan penembakan di pom bensin setempat. Salah satunya di sebuah pom bensin di Tripoli di mana anak pemilik pom bensin tewas.
Banyak warga Lebanon mengecam ketidakmampuan atau keengganan pemimpin mereka untuk bekerja bersama menyelesaikan krisis. Diketahui bahwa usai ledakan dahsyat mengguncang pelabuhan Beirut pada 4 Agustus tahun lalu, para politikus sektarian yang terpecah-pecah tidak mampu mencapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan baru.
Para politikus Lebanon terpaku pada perebutan kekuasaan atas siapa yang akan mengendalikan pemerintahan selanjutnya, dan menyalahkan komunitas internasional karena tidak membantu mereka.
“Para politikus ini menyalahkan komunitas internasional karena menuntut pemerintah yang mampu dan bersedia melakukan reformasi finansial dan administratif juga memerangi korupsi yang terjadi sebelum mereka mengucurkan bantuan keuangan. Negara ini mengalami krisis selama lebih dari setahun. Tidak ada layanan dasar di negara ini, tidak ada infrastruktur,” sebutnya seperti diwartakan Al Jazeera.(*)